Breaking News

Hukum Jahiliyah Atau Hukum Islam? (Tafsir QS. Al-Maaidah [5]: 49-50)


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik [49]. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? [50]”
***
Topik tentang negara Islam tak pernah kehilangan daya tarik untuk diperbincangkan. Baik oleh pihak yang mendukung terwujudnya negara tersebut, yang masih bingung mengambil sikap, maupun oleh yang jelas-jelas menolak. Di masa lalu, sebelum Republik Indonesia merdeka, Soekarno telah berdebat alot dengan Mohammad Natsir tentang negara Islam. Di satu pihak, Natsir mendukung negara Islam, sedangkan di pihak lain, Soekarno lebih memilih keterpisahan Islam dengan negara.[1] Dan wacana negara Islam ini terus berlanjut pasca kemerdekaan, sampai Soekarno menghentikannya dengan tangan besinya.[2]
Saat ini, semua gerakan yang mendukung berdirinya negara Islam coba dikriminalkan. Ansyaad Mbai, ketua BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menyatakan Syariah Islam berbahaya bagi Indonesia.[3] Bahkan sudah menjadi rahasia umum, agenda perang terhadap terorisme (War On Terrorism) sebenarnya adalah perang terhadap Islam.[4]
Padahal, secara aqidah, berdirinya negara Islam adalah konsekuensi keimanan kita sebagai muslim. Setiap muslim wajib terikat dengan seluruh aturan Allah subhanahu wa ta’ala, termasuk aturan bermasyarakat dan bernegara. Dilihat dari sudut pandang fiqih, semua ulama sepakat akan wajibnya mendirikan negara yang akan menerapkan seluruh Syariah Islam dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Negara semacam ini dikenal dengan istilah Khilafah.[5]
Kewajiban mendirikan Khilafah disimpulkan dari begitu banyak dalil, baik dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, maupun dari kaidah ‘Maa Laa Yatimmul Waajib Illaa bihi, fahuwa waajib’.[6] Salah satu ayat al-Qur’an yang menunjukkan wajibnya menerapkan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk bernegara, adalah QS. Al-Maaidah ayat 49-50.
***
Ibn Jarir meriwayatkan satu hadits di kitab tafsir beliau tentang sababun nuzul QS. Al-Maaidah ayat 49-50 ini. Ka’b ibn Asad, Ibn Shuriya, dan Sya’s ibn Qais dari kalangan pemuka Yahudi berbincang-bincang, salah satu di antara mereka berkata, “Mari kita pergi kepada Muhammad, semoga kita bisa memalingkannya dari agamanya.” Kemudian mereka menemui Nabi, lantas berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa kami adalah pendeta, pemuka sekaligus pemimpin orang-orang Yahudi. Dan jika kami mengikutimu, maka orang-orang Yahudi akan mengikuti kami dan tidak akan menyelisihi kami. Sesungguhnya di antara kami dan kaum kami terdapat perselisihan, dan kami ingin engkau yang memutuskan perkara antara kami dan mereka. Karena itu berikanlah keputusan yang memenangkan kami atas mereka. Lalu kami akan beriman dan membenarkanmu.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak permintaan mereka, kemudian turunlah firman Allah tentang mereka, yaitu wa anihkum baynahum bimaa anzalaLlaah hingga li qawmin(y) yuuqinuun.[7]
Menurut Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, makna wa anihkum baynahum bimaa anzalaLlaahu wa laa tattabi’ ahwaa-ahum adalah ‘putuskanlah perkara di antara ahlul kitab dengan al-Qur’an ini dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka yang penuh kepalsuan’. Kemudian ungkapan wahdzarhum an(y) yaftinuuka ‘an ba’dhi maa anzalaLlaahu ilayka adalah ‘berhati-hatilah terhadap musuh-musuh tersebut yang mencoba memalingkanmu dari Syariah Allah, sesungguhnya mereka adalah para pendusta, kafir, dan pengkhianat.’[8] Dari sini bisa kita pahami bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan perkara di antara ahlul kitab dengan hukum-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an.
Masih menurut ash-Shabuni, makna kalimat fa-in tawallaw fa’lam annamaa yuriiduLaahu an(y) yushiibahum bi-ba’dhi dzunuubihim adalah ‘jika mereka berpaling dari hukum yang diturunkan  Allah, dan menginginkan selain hukum Allah tersebut, maka ketahuilah wahai Muhammad, sesungguhnya mereka menginginkan agar Allah menghukum mereka akibat kejahatan-kejahatan mereka’. Kemudian kalimat wa inna katsiiran(m) minannaasi lafaasiquun maknanya adalah ‘kebanyakan manusia telah keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka, menyelisihi kebenaran, dan menyibukkan diri dengan berbagai kemaksiatan’.[9]
Pada ayat ke-50, Allah subhanahu wa ta’ala mengajukan pertanyaan retoris, ‘apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?’. Menurut al-Baidhawi, makna jahiliyah di sini adalah millah jahiliyah yaitu millah pengikut hawa nafsu.[10] Ibn Katsir menyatakan bahwa ayat ini berisi pengingkaran Allah ta’ala atas orang-orang yang meninggalkan hukum Allah yang jelas, adil dan mencakup segala kebaikan dan pencegahan terhadap segala keburukan, dan kemudian mereka berpaling pada pemikiran, hawa nafsu dan tradisi yang tidak berasal dari syariah Allah. Dan perilaku seperti inilah yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.[11] Jadi bisa kita simpulkan, hukum jahiliyah adalah hukum yang tidak mengikuti Syariah Allah, dan hanya mengikuti pemikiran dan hawa nafsu manusia belaka. Dan mengikuti hukum jahiliyah ini, seraya meninggalkan hukum Allah, merupakan perbuatan buruk, tercela dan diingkari secara tegas oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Tentang definisi jahiliyah, Hasan al-Bashri, sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir, menyatakan, ‘barangsiapa memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah, berarti itu adalah hukum jahiliyah’.[12] Menurut ash-Shabuni, jahiliyah bukanlah periode tertentu pada suatu masa, namun ia ada di masa lalu, sekarang dan akan datang. Jika manusia berhukum dengan Syariah Allah, dan menerimanya dengan penuh kerelaan, maka mereka adalah orang-orang Islam. Sedangkan orang-orang yang berhukum dengan hukum buatan manusia, maka mereka adalah orang-orang jahiliyah dan keluar dari Syariah Allah.[13]
***
QS. Al-Maidah ayat 49-50 ini, berdasarkan uraian di atas, dengan sangat tegas menunjukkan bahwa setiap hukum yang tidak berasal dari Syariah Allah berarti ia adalah hukum jahiliyah. Negara yang diatur oleh undang-undang buatan manusia, berdasarkan akal pikiran mereka, sebenarnya adalah negara yang diatur oleh hukum jahiliyah. Mempertahankan negara yang menerapkan hukum jahiliyah seperti ini adalah hal yang haram dan diingkari oleh Allah ta’ala, Tuhan semesta alam. Sebaliknya, memperjuangkan negara yang menerapkan hukum-hukum Allah, merupakan sebuah kewajiban, bahkan kewajiban yang teragung.
Tanpa negara yang menerapkan hukum-hukum Allah, maka sistem pemerintahan, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, sanksi, politik dalam negeri dan politik luar negeri yang berdasarkan Islam tak bisa diterapkan. Bahkan tanpa negara yang menerapkan hukum-hukum Allah ini, aqidah umat terancam, ibadah terabaikan, dan kemuliaan Islam terhinakan.
Sekarang, pilihan ada di tangan kita, mempertahankan hukum jahiliyah atau memperjuangkan diterapkannya Syariah Allah, pilih mana?
Abu Furqan al-Banjary

Catatan Kaki:
[4] Lebih tepatnya, perang terhadap kelompok Islam yang menginginkan tegaknya kembali negara Islam dengan seluruh perangkatnya.
[5] Baca tulisan saya: https://abufurqan.wordpress.com/2011/06/26/khilafah-kewajiban-yang-terlupakan/, diakses pada tanggal 3 Maret 2013.
[7] Ath-Thabari, Jaami’ al-Bayaan fi Ta’wiil al-Qur’aan, Juz 10 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000 [Maktabah Syamilah]), hlm. 393.
[8] Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasiir, Juz 1 (Kairo: Daar ash-Shaabuuni, 1997 [Maktabah Syamilah]), hlm. 320.
[9] idem.
[10] Al-Baidhawi, Anwaar at-Tanziil wa Asraar at-Ta’wiil, Juz 2 (Beirut: Daar Ihyaa at-Turaats al-‘Arabi, 1418 H [Maktabah Syamilah]), hlm. 130.
[11] Ibn Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, Juz 3 (t.tp: Daar Thayyibah, 1999 [Maktabah Syamilah]), hlm. 131.
[12] idem.
[13] Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasiir, Juz 1 (Kairo: Daar ash-Shaabuuni, 1997 [Maktabah Syamilah]), hlm. 321.

Tidak ada komentar

1. Berkomentarlah yang baik
2. Jangan memasukkan Link tanpa seizin admin